Oleh: Hasanul Rizqa
Raden Ajeng Kartini, seorang Muslimah pahlawan Indonesia, lahir pada 21 April 1879 di Jepara (Jawa Tengah). Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja (1962), Pramoedya Ananta Toer mendeskripisikan Jepara pada saat itu sebagai sebuah daerah yang baru saja lepas dari Tanam Paksa (Cultuurstelsel), yang amat mencekik peri-kehidupan masyarakat setempat. Pada masa puncak penerapan Cultuurstelsel, lanjut Pram, para petani Jepara harus menyerahkan sepertiga dari tanah garapannya kepada pihak gubernur jenderal untuk ditanami tanaman-tanaman komoditas ekspor, seperti kopi, karet, cokelat, dan tebu.
RA Kartini berasal dari keluarga priayi yang kental nuansa feodalisme. Sebelum wanita ini lahir, ayahnya yakni Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjabat sebagai wedana di Desa Mayong, Jepara. Saat usia putrinya itu masih bayi, Ario Sosroningrat telah diangkat menjadi bupati Jepara.
Pengangkatan ini berimbas bukan hanya pada lingkungan kerja, tetapi juga keluarga. Ario Sosroningrat menikah lagi dengan seorang perempuan ningrat Madura, Raden Ajeng Moerjam. Alhasil, istri pertamanya yang bernama Ngasirah mengalami turun posisi hingga berstatus bukan istri resmi.
Bukan itu saja ujian yang dialami Ngasirah, perempuan yang dinikahi Ario ketika masih berusia 14 tahun. Ibu kandung Kartini tersebut bahkan mesti memanggil anak-anaknya dengan sapaan ndoro. Itu menandakan rendahnya kedudukan seorang ibunda di hadapan darah dagingnya sendiri.
Bagaimanapun, anak-anaknya tidak pernah mau merendahkan ibu mereka sendiri. Hal itu ditegaskan adik kandung Kartini, Kardinah. Menurutnya, mereka selalu memuliakan Ngasirah, sebagaimana wajarnya anak terhadap orang tua.
Kartini merupakan anak kelima dari 11 bersaudara, kandung dan tiri. Ia mewariskan darah ulama dari ibu kandungnya. Th Sumartana dalam buku Tuhan dan Agama Dalam Pergulatan Batin Kartini (1993) mengungkapkan, Ngasirah merupakan putri Kiai Modirono, seorang ulama masyhur asal Desa Telukawur, Jepara.
Di samping mengajarkan agama Islam, kakek Kartini itu juga bekerja sebagai pedagang kopra di Desa Mayong. Adapun Ngasirah sejak masih berusia anak-anak telah mahir mengaji Alquran. Ketika sudah menikah dan jabatan suaminya perlahan-lahan merangkak naik, wanita itu mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa Jawa serta Melayu yang tak sempurna.
Berbeda dengan pihak istri pertamanya, Ario Sosroningrat berasal dari keluarga ningrat Jawa yang sangat terbuka pada pendidikan Barat. Kakek Kartini dari pihak bapaknya, Pangeran Ario Tjondronegoro, merupakan bupati Demak. Di rumahnya, tidak jarang mereka menggunakan bahasa Belanda.
Ario Sosroningrat meneruskan kesukaan bapaknya pada gaya pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Bahkan, seorang kakak Kartini yang bernama Kartono dikirimkan ke Negeri Belanda untuk melanjutkan studi.
Menurut Th Sumartana, hal itu merupakan tanda bahwa kalangan elite lokal Jawa pada masa itu telah menyadari pentingnya penyesuaian diri dengan budaya dan cakrawala pengetahuan Eropa. Pendidikan Barat pun menjadi gerbang bagi para penguasa pribumi agar mampu memperoleh atau mempertahankan jabatan di struktur birokrasi kolonial.
Sekalipun menyukai pendidikan Barat, ayah Kartini tidak begitu saja melalaikan pendidikan agama. Saat menjadi bupati Jepara, ia mengundang para dai ke kabupatennya untuk mengajarkan Alquran. Untuk anak-anaknya pun, Ario Sosroningrat mendatangkan ustaz untuk membimbing mereka.
Bagaimanapun, lanjut Th Sumartana, metode pengajaran agama Islam yang diperoleh Kartini dan saudara-saudaranya tidaklah mendalam. Ustaz yang datang ke rumahnya hanya mengajarkan cara membaca Alquran. Tidak ada pembahasan tentang terjemahan atau makna kitab suci tersebut.
Dalam suratnya kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar pada 6 November 1899, Kartini mencurahkan perasaannya mengenai agama ini: “Tentang ajaran Islam, tidak dapat saya ceritakan, Stella. Agama Islam melarang pemeluknya untuk mempercakapkannya dengan pemeluk agama lain. Dan, sebenarnya saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam.”
Belakangan, Kartini mulai membangun pandangan kritis terhadap pendidikan Islam yang diterimanya sejak kanak-kanak. Hal itu berkat kebiasaannya semasa remaja berkorespondensi dengan kawan-kawannya yang orang Belanda. Dalam surat yang sama, Kartini menulis: “Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Alquran terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apa pun juga. Di sini, tidak ada orang tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Alquran, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.”
“Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila: mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. [...] Bukankah demikian, Stella?”
Cara pandang Kartini yang menilai pengajaran Islam kala itu tidak memadai, menurut Sumartana, menciptakan jarak tertentu baginya terhadap Islam. Gap ini memungkinkan wanita ningrat Jawa tersebut untuk bersikap kritis terhadap agamanya, sebagaimana terbaca dari surat-suratnya untuk Stella Zeehandelaar.
Stella Zeehandelaar berusia lima tahun lebih tua daripada Kartini. Begitu lulus dari sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS), wanita kelahiran Belanda itu bekerja pada Kantor Pos, Telepon dan Telegram di Amsterdam.
Saat berusia 20 tahun, Kartini memasang sebuah iklan di majalah terbitan Belanda, De Hollandsche Lelie. Isinya menjelaskan bahwa dirinya merupakan putri seorang bupati Jepara di Hindia Belanda (Indonesia) dan sedang mencari teman perempuan untuk dapat saling bertukar pikiran melalui surat-menyurat. Kawan yang dicarinya ini harus merupakan orang Belanda dan berusia sebaya dengannya.
Kebetulan, Stella membaca iklan tersebut. Sebagai seorang aktivis feminisme, wanita Belanda itu tertarik dan bersedia untuk menjadi teman korespondensi bagi seorang putri ningrat Jawa. Demikianlah awal pertemanan mereka. Kini, hasil surat menyurat keduanya telah dibukukan dalam berbagai terbitan. Salah satunya adalah On Feminism and Nationalism: Kartini’s Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903 (1995).
Kartini juga memiliki kawan korespondensi lainnya, yakni EC Abendanon, seorang anak pasangan Mr Jacques Henrij (JH) Abendanon dan Rosa Abendanon. Antara tahun 1900 dan 1905, JH Abendanon merupakan menteri pendidikan Hindia Belanda. Sesudah Kartini wafat, pejabat Belanda itu dan istrinya berinisiatif mengumpulkan surat-surat almarhumah dan menghimpunnya ke dalam buku, yang diberi judul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Terang).
Seperti curahan hatinya kepada Stella, Kartini pun mengungkapkan kegelisahan batinnya mengenai praktik pengajaran agama Islam kepada EC Abendanon. Dalam sebuah surat kepada anak JH Abendanon itu tertanggal 15 Agustus 1902, sang putri Jawa sampai-sampai mengaku tidak mau membaca Alquran lagi. Sebab, dirinya toh tidak mengerti arti ayat-ayat kitab suci tersebut dalam bahasa Arab. Pengakuan itu cenderung merupakan ekspresi Kartini yang merasa kecewa karena tidak ada siapapun di sekitarnya yang bersedia menerangkan Alquran kepadanya.
“Dan waktu itu, aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya,” tulis Kartini kepada Abendanon.
Sumartana berpendapat, sikap Kartini itu sesungguhnya menyasar pada budaya tempatnya berada, bukan Islam sebagai agama yang dianutnya. Wanita ningrat Jawa itu merasa terkungkung oleh lingkungan yang menjalankan ajaran Islam secara taklid sehingga untuk “sekadar” menjelaskan isi kitab suci pun tidak mampu. Keluh kesah ini diungkapkan Kartini melalui korespondensinya dengan kawan-kawannya yang orang Belanda.
Faidh al-Rahman
Sesudah wafatnya RA Kartini, surat-suratnya kemudian dikumpulkan oleh Abendanon ke dalam buku Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Terang). Versi terjemahan bahasa Melayu terbit pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Nyai Dahlan dalam artikel “Inspirasi Kartini di Kalangan Muslimat” memandang, metafora “dari kegelapan menuju terang benderang” itu merujuk pada kata-kata yang banyak disebut dalam ayat-ayat Alquran: mina azh-zhulumaati ila an-nuur. Misalnya, surah al-Baqarah ayat ke-257.
Dalam firman-Nya itu, Allah menegaskan bahwa Dia adalah pelindung orang yang beriman. “Dia (Allah) mengeluarkan mereka (orang beriman) dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan” (QS al-Baqarah: 257).
Dalam fase kehidupan RA Kartini, menurut Nyai Dahlan, ada titik yang dari sanalah sang putri Jepara mulai berhijrah. Titik yang dimaksud adalah perjumpaannya dengan KH Shaleh Darat as-Samarani (wafat 1903 M), seorang ulama besar yang mengajar di Semarang (Jawa Tengah).
Cerita pertemuan ini bermula ketika Kartini mengunjungi kediaman pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat, yang merupakan seorang bupati Demak. Saat tiba, perempuan ningrat itu mendapati bahwa sedang ada pengajian di rumah sang paman. KH Shaleh Darat hadir sebagai pengisi materi.
Dalam kesempatan itu, ulama tersebut menjelaskan tafsir surah al-Fatihah kepada hadirin yang memadati pendopo rumah Pangeran Ario Hadiningrat. Mendengarnya, Kartini langsung tertarik. Dengan saksama ia menyimak seluruh uraian Kiai Shaleh Darat.
Bagi Kartini, inilah untuk pertama kalinya ia diberi tahu tentang arti dan makna ayat-ayat suci Alquran. Sebelumnya, wanita yang cerdas ini hanya diajarkan untuk sekadar membaca teks Alquran atau menghafalkan beberapa surah pendek, tanpa menyelami kandungan isi kitab suci tersebut.
Untuk pertama kalinya, Kartini merasa terbebas dari kejumudan para pemuka Islam yang selama ini ditemuinya. Usai pengajian, Kartini segera mendekati pamannya agar bersedia memperkenalkannya kepada Kiai Shaleh Darat. Awalnya, Ario Hadiningrat merasa enggan. Namun, keponakannya itu sedikit memaksa sehingga jadilah mereka menemui langsung sang ulama.
“Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” tanya Kartini setelah memperkenalkan diri.
Mendengar itu, tampak Kiai Shaleh tertegun. Mungkin karena belum memahami alur pertanyaan Kartini. “Mengapa Raden Ajeng bertanya begitu?” selidik ulama ini kemudian.
“Kiai, selama hidupku, baru kali ini aku memahami makna surah al-Fatihah. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ungkap Kartini dengan bersemangat.
“Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran ke dalam bahasa Jawa? Bukankah Alquran pembimbing hidup bahagia bagi manusia?” tanya perempuan itu lagi.
Kiai Shaleh terpana dengan kata-kata Kartini, yang sopan tetapi begitu kritis. Belum pernah seorang Jawa pun—lebih-lebih dari kalangan perempuan—yang mengajukan pertanyaan sebegitu mendalamnya. Ulama ini hanya menggumamkan hamdalah. Kemudian, pertanyaan Kartini dijawabnya secara umum, sekadar untuk menghilangkan kegelisahan dari hati perempuan tersebut.
Bagaimanapun, hikmah besar terjadi beberapa waktu sejak pertemuan itu. Tergerak oleh pertanyaan yang diajukan Kartini, Kiai Shaleh mulai merasa yakin akan pentingnya penerjemahan teks Alquran. Ini adalah pekerjaan besar yang belum pernah diambil seorang ulama pun sebelumnya.
Mengapa demikian? Pertama-tama, Alquran merupakan kalamullah yang hadir dalam bahasa Arab dengan kualitas bahasa yang paripurna. Menerjemahkannya ke dalam bahasa sasaran, semisal bahasa Jawa, tentu bukanlah perkara ringan.
Selain itu, tidak sedikit ulama pada masa itu memandang skeptis tindakan menerjemahkan kitab suci. Ambil contoh teks Injil yang telah diterjemahkan oleh orang-orang sesudah zaman Nabi Isa AS. Naskah asli yang berbahasa Ibrani tidak beredar luas atau bahkan hilang, sedangkan terjemahan dalam bahasa Yunani tersebar luas dan inilah yang justru kemudian dianggap sebagai “Injil sungguhan.” Pada akhirnya, Injil tidak lagi terjaga (corrupted), hadir dalam banyak versi—bukan hanya banyak bahasa.
“Jika pintu terjemahan dibuka, maka banyak orang akan melakukan itu. Setiap kelompok akan menerjemahkannya ke bahasa masing-masing sehingga akan muncul banyak versi terjemahan yang pasti berbeda-beda. Perbedaan terjemah itu akan memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam seperti yang dialami umat Yahudi dan Nasrani seputar Taurat dan Injil,” demikian kata seorang ulama al-Azhar Mesir, Syekh al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an.
Tentunya, keputusan KH Shaleh Darat untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa tidak bertujuan menghadirkan “Alquran versi baru.” Tergerak oleh keluhan RA Kartini, ulama besar Semarang itu semata-mata ingin membantu kaum Muslimin Jawa agar lebih memahami isi Kalamullah. Sebab, tidak semua penduduk pulau ini bisa berbahasa Arab.
Tidak sekadar melakukan alih bahasa, Kiai Shaleh Darat juga menulis tafsir Alquran. Ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya itu yang membahas mulai dari juz pertama hingga juz ke-13 Alquran. Karyanya itu kemudian diberi judul Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Qur'an, sebuah terjemahan dan tafsir Alquran dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.
Kiai Shaleh lantas memberikan salah satu salinan karyanya itu kepada RA Kartini sebagai hadiah ketika wanita Jawa itu menikah dengan bupati Rembang, Raden Mas Joyodiningrat. Kartini begitu terharu saat menerima pemberian tersebut. Buku itu dikatakannya sebagai kado pernikahan yang tak ternilai harganya.
“Selama ini, (surah) al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi, sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya sebab Rama Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami,” kata Kartini.
Kartini mempelajari terjemahan dan tafsir yang dibuat Kiai Shaleh Darat secara sungguh-sungguh. Sayang sekali, sang ulama “hanya” mampu menyelesaikan pekerjaannya hingga surah Ibrahim, tidak sampai an-Nas sebagai surah terakhir dalam Alquran. Sebab, waliyullah asal Semarang itu terlebih dahulu wafat.
Dengan membaca Faidh al-Rahman, Kartini benar-benar terkesan. Dari seluruh firman Allah yang dibahas Kiai Shaleh Darat di sana, ada yang paling menarik perhatiannya, yakni ayat ke-257 dari surah al-Baqarah. Itu menerangkan bahwa Allah membimbing manusia beriman dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, “mina azh-zhulumati ila an-nur.” Bagi Kartini, pengalaman semacam itu telah dialaminya berkat menelaah karya Kiai Shaleh Darat, yang menerangkan makna Alquran kepadanya.
Sejak saat itu, isi korespondensi Kartini dengan kawan-kawan Belandanya berubah nuansa. Tidak lagi dipenuhi pesimisme atau bahkan kekecewaan terhadap kejumudan orang-orang Islam. Warnanya kini menjadi lebih optimistis, terutama mengenai masa depan Islam.
Pandangan Kartini tentang Barat juga berubah. Tak lagi menganggapnya tolok ukur tertinggi peradaban manusia. Perhatikan surat tokoh emansipasi perempuan ini tertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah Ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban? Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”
Lalu dalam korespondensi bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis: "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, wanita asal Jepara ini menegaskan: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”